JAKARTA - Di tengah tantangan transisi energi dan krisis iklim global, Indonesia memiliki satu senjata strategis yang belum dimanfaatkan secara maksimal: energi panas bumi. Negara ini menyimpan sekitar 40 persen dari total potensi panas bumi dunia, setara dengan 23,7 gigawatt (GW). Namun, ironi besarnya potensi ini hanya terealisasi dalam 2,6 GW kapasitas terpasang. Artinya, pemanfaatannya masih berada di kisaran 11 persen, sekalipun Indonesia telah menjadi produsen panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
Melihat realita tersebut, pemerintah kini tengah mengupayakan berbagai cara untuk mendorong percepatan pengembangan panas bumi. Salah satu langkah penting adalah dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung, yang mengatur jalannya industri panas bumi mulai dari izin hingga pengelolaan proyek.
Revisi ini bukan semata-mata bersifat administratif, tetapi menjadi upaya membumikan panas bumi agar tidak hanya berbicara soal teknis dan ekonomi, melainkan juga menyentuh aspek sosial dan keberterimaan publik.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, optimistis bahwa pengembangan 1,5 GW kapasitas panas bumi tambahan dalam lima tahun ke depan bisa dicapai. Dengan demikian, total kapasitas bisa menyentuh 4,2 GW pada lima tahun mendatang.
Mengurai Isi Revisi: Dari Digitalisasi Lelang hingga Insentif Investasi
Beberapa poin penting menjadi sorotan dalam revisi PP tersebut. Pertama, skema lelang daring (online auction) yang diharapkan meningkatkan transparansi dan efisiensi pengelolaan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP). Investor akan mendapatkan akses digital terhadap data dan dapat mengajukan dokumen secara online.
Kedua, pemberian insentif fiskal dan nonfiskal. Pemerintah menargetkan peningkatan internal rate of return (IRR) di atas 10 persen agar iklim investasi semakin menarik, mengingat IRR saat ini masih berada di bawah angka tersebut.
Ketiga, adanya kepastian pembelian listrik oleh PLN, termasuk dari hasil lelang dan penugasan kepada BUMN. Ini penting karena monopsoni PLN selama ini menjadi tantangan besar bagi para pengembang panas bumi.
Selain itu, revisi ini juga akan memuat isu-isu penting seperti prioritas dispatch untuk PLTP, penggantian jangka waktu eksplorasi dengan kriteria berbasis capaian, penetapan nilai ekonomi karbon, serta pengelolaan mineral ikutan dan jaminan pemulihan lingkungan.
Langkah tersebut merupakan jawaban terhadap tantangan selama ini, mulai dari kesulitan negosiasi harga jual-beli listrik, perizinan yang berbelit, hingga konflik lahan di kawasan hutan konservasi.
Manfaat Ekonomi Nyata dari Panas Bumi
Tak hanya menjadi sumber energi bersih dan berkelanjutan, panas bumi juga terbukti berdampak luas pada ekonomi nasional dan daerah. Dalam satu dekade terakhir, sektor ini berhasil menarik investasi senilai USD 9,3 miliar dan menyumbang PNBP sebesar Rp18,2 triliun.
Menurut data Kementerian ESDM, pengembangan panas bumi telah menyerap 5.200 tenaga kerja profesional, serta melibatkan 870.000 hingga 900.000 tenaga kerja tidak langsung di berbagai kegiatan pembangunan dan operasional. Bonus produksi yang disalurkan kepada pemerintah daerah juga telah mencapai Rp1 triliun, menjadi bukti bahwa masyarakat lokal bisa menikmati manfaat langsung dari industri ini.
Sektor ini turut mendorong industri lokal lewat pemenuhan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang sudah mencapai 38 persen. Hal ini menciptakan efek ganda pada manufaktur nasional, mulai dari produksi turbin, pipa, hingga heat exchanger, serta pemberdayaan 16.000 tenaga kerja manufaktur dalam negeri.
Panas Bumi, Solusi Efisien dan Ramah Lingkungan
Laporan Reforminer Institute menunjukkan keunggulan panas bumi dibandingkan sumber energi baru terbarukan (EBT) lainnya. Energi ini tidak tergantung cuaca, memiliki pasokan stabil sepanjang tahun, serta hemat lahan dan rendah risiko harga bahan bakar.
Biaya operasional PLTP bahkan hanya mencakup sekitar 7,70 persen dari rata-rata biaya operasi pembangkit nasional tahun 2021. Ini menjadikannya solusi hemat dan berkelanjutan untuk mendukung bauran energi nasional.
Tantangan Sosial dan Upaya Meningkatkan Penerimaan Publik
Meski manfaatnya jelas, tantangan penerimaan masyarakat masih menjadi batu sandungan besar dalam pengembangan panas bumi. Penolakan warga yang khawatir terhadap dampak lingkungan masih sering terjadi di berbagai daerah proyek.
Kementerian ESDM menyadari pentingnya sosialisasi dan pendekatan kultural. Untuk itu, pemanfaatan langsung panas bumi seperti pemandian air panas, wisata edukatif, dan kegiatan agrowisata terus dikembangkan agar masyarakat sekitar juga merasakan manfaat langsung sejak awal.
Peran UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi juga semakin dikuatkan dalam revisi PP ini untuk mengedepankan pemanfaatan langsung di sektor pariwisata, industri, dan pertanian.
Belajar dari Negara Lain
Untuk menciptakan ekosistem regulasi yang kondusif, Indonesia bisa mencontoh berbagai negara. Amerika Serikat menetapkan standar energi terbarukan 15–33 persen per negara bagian, disertai subsidi pajak investasi hingga 30 persen, jaminan pinjaman, dan kemudahan perizinan.
Sementara itu, Filipina menawarkan insentif luar biasa, seperti tax holiday tujuh tahun, PPN 0 persen, pembebasan pajak impor, dan corporate tax hanya 10 persen pasca masa bebas pajak. Ini menjadikan negara tersebut salah satu pengembang panas bumi terkemuka di Asia Tenggara.
Waktunya Panas Bumi Naik Kelas
Dengan revisi regulasi yang sedang disiapkan, pemerintah berharap industri panas bumi bisa benar-benar "dibumikan", bukan hanya dalam tataran energi bersih, tetapi juga sebagai motor penggerak ekonomi daerah, penyerap tenaga kerja, dan peluang inovasi industri.
Langkah ini bisa menjadi pijakan penting untuk membentuk sistem ketahanan energi nasional yang mandiri, berkeadilan, dan berkelanjutan, dengan masyarakat sebagai penerima manfaat utama dari kekayaan sumber daya bumi mereka sendiri.