JAKARTA - Sumo bukan sekadar olahraga; ia adalah simbol budaya dan sejarah Jepang yang kaya makna. Sebagai pertarungan tangan kosong tradisional, sumo telah melewati perjalanan panjang, dari ritual keagamaan Shinto hingga menjadi olahraga profesional yang digemari masyarakat luas. Setiap gerakan, kostum, dan upacara yang menyertainya sarat akan simbolisme spiritual dan nilai-nilai budaya Jepang.
Asal-Usul Sumo dan Hubungan dengan Shinto
Gulat sumo lahir dari upacara dan perayaan Shinto, agama asli Jepang. Pertandingan tradisional sering digelar di kuil, seperti Yasukuni dan Ise Jingu, terutama pada musim semi. Dalam tradisi ini, sumo bukan hanya soal fisik, tetapi juga perwujudan kebaikan dan kesucian. Kebaikan ini tercermin dalam mawashi, sabuk perut yang dikenakan pegulat, sebagai simbol kesederhanaan dan disiplin.
Bahkan dalam catatan mitologi Jepang, sumo pertama kali diperankan oleh dewa-dewa. Menurut Kojiki (Old Record Matters), Takeminakata mencoba menaklukkan Tatkemikazuchi dengan teknik melempar dan merebut lengan lawannya. Pertarungan ini dianggap sebagai cikal bakal sumo.
Pertarungan Awal: Nomi no Sukune dan Toma no Kehaya
Pertarungan manusia yang pertama dikenal luas adalah antara Nomi no Sukune dan Toma no Kehaya. Dalam duel tersebut, tendangan menjadi teknik utama, hingga Kehaya akhirnya tewas. Walaupun catatan sejarah tidak bisa memastikan kapan sumo mulai dilatih, legenda menyebut olahraga ini sudah ada lebih dari 2.000 tahun lalu, tepatnya saat pemerintahan Kaisar Suinin.
Sejarawan Harold Bolitho mencatat bahwa Nomi no Sukune dianggap perwujudan dewi Amaterasu. Ia diminta oleh Kaisar Suinin untuk menghadapi Taima no Kehaya, seorang ahli militer yang mengaku sebagai manusia paling tangguh di bawah surga. Bolitho menulis, “Saling menipu di Izumo di tepi Pulau Honshu. Kedua pesaing itu mengangkat kaki dan menendang satu sama lain. Nomi No Sukune mematahkan tulang rusuk dan pinggul Taima No Kehaya hingga masalah yang belum terselesaikan.”
Nomi no Sukune kemudian dikenal sebagai “dewa sumo” dan menjadi simbol awal olahraga ini. Sumo selanjutnya dikaitkan dengan berbagai upacara ketat Shinto, terutama pada masa Nara (710–794 M), saat pertandingan sering diadakan untuk merayakan hasil panen.
Tradisi dan Ritual dalam Sumo
Setiap pertandingan sumo selalu diawali dengan ritual. Pegulat, atau rikishi, menebar garam di dohyo (arena bundar) sebagai simbol penyucian, kemudian menepuk tangan dan melakukan hentakan kaki. Kebiasaan ini dipercaya meniru gerakan Dewa Amaterasu sebelum menghadapi saudaranya, Susanoo.
Para rikishi hanya mengenakan mawashi, tanpa pakaian lain, sedangkan wasit bertugas sebagai ulama di altar Shinto setempat. Tujuan pertandingan sederhana: mendorong lawan keluar dari lingkaran, menjatuhkan, atau menggunakan lemparan dan tendangan untuk memenangkan laga.
Perkembangan Profesional Sumo
Selama era Muromachi (abad ke-14), sumo mulai berubah menjadi olahraga profesional, meskipun perlu dua abad berikutnya agar menyebar ke seluruh Jepang. Pada zaman Edo (abad ke-19), sumo semakin populer, menawarkan kehormatan dan imbalan finansial yang signifikan. Kompetisi besar mulai digelar secara teratur, menjadikan sumo bagian dari hiburan rakyat.
Menjelang abad ke-20, sumo semakin terorganisir. Dua afiliasi utama di Tokyo dan Osaka akhirnya bersatu pada 1925 menjadi Dai-Nihon Sumo Kyokai atau Asosiasi Sumo Jepang, di bawah pengawasan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains, dan Teknologi.
Sumo dan Kehormatan Samurai
Menariknya, sumo juga berperan sebagai sarana menjaga kehormatan mantan samurai. Ketika status samurai dihapus pada era Meiji, berbagai tradisi kehormatan yang melekat pada mereka hilang. Hanya melalui sumo, mereka dapat mempertahankan martabat dan prestise, menjadikan olahraga ini sebagai pengikat nilai-nilai budaya dan sosial Jepang.
Kini, sumo bukan hanya olahraga fisik. Ia adalah simbol identitas nasional Jepang dan warisan budaya yang tetap terjaga. Dari ritual keagamaan, mitologi dewa, hingga kompetisi profesional modern, sumo menunjukkan bagaimana tradisi kuno bisa bertahan, relevan, dan tetap menginspirasi generasi baru.
Setiap gerakan, teknik, dan prosesi dalam sumo tetap menekankan pada disiplin, kehormatan, dan keterikatan dengan budaya Jepang. Dari Yasukuni hingga Osaka, dari ritual Shinto hingga stadion modern, sumo tetap menjadi cermin sejarah dan filosofi bangsa Jepang.