Anies Baswedan

Anies Baswedan dan Jalan Baru Politik

Anies Baswedan dan Jalan Baru Politik
Anies Baswedan dan Jalan Baru Politik

JAKARTA - Perjalanan politik Anies Baswedan selalu memancing rasa ingin tahu publik. Ia bukan tokoh yang muncul tiba-tiba, melainkan figur dengan jejak panjang yang dimulai dari dunia akademis. Publik pertama kali mengenalnya sebagai Rektor Universitas Paramadina, sekaligus penggagas Gerakan Indonesia Mengajar, sebuah program sosial yang mendapat apresiasi luas. Dari ranah pendidikan, langkah Anies kemudian berbelok ke dunia politik, membawa gagasan perubahan yang kelak menjadikannya sosok penting dalam peta kekuasaan nasional.

Meski awalnya ia muncul sebagai intelektual dan pendidik, titik balik karier politiknya terjadi ketika mengikuti Konvensi Capres Partai Demokrat 2014. Walaupun tidak keluar sebagai pemenang, saat itu publik mulai melihat bahwa Anies bukan sekadar akademisi, tetapi memiliki kapasitas untuk tampil sebagai pemimpin nasional.

Jubir Kampanye hingga Mendikbud

Saat Pemilu 2014, Anies masuk ke lingkaran tim kampanye Jokowi Jusuf Kalla. Ia tampil sebagai juru bicara yang tenang, artikulatif, dan menggagas konsep “Kampanye Putih”, sebuah strategi untuk menangkis serangan kampanye hitam dengan narasi positif. Peran ini menambah reputasinya sebagai komunikator ulung.

Setelah Jokowi-JK menang, Anies dipercaya bergabung dalam Tim Transisi, kemudian ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam waktu 20 bulan menjabat, ia melahirkan banyak kebijakan besar: revisi Kurikulum 2013, penghapusan Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan, hingga menghadirkan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK).

Ia juga meluncurkan Kartu Indonesia Pintar, menghapus praktik perploncoan, menghadirkan program Guru Garis Depan untuk daerah terpencil, dan mempopulerkan gerakan orang tua mengantar anak di hari pertama sekolah. Beberapa kebijakan kultural turut meninggalkan kesan, seperti kewajiban menyanyikan Indonesia Raya, penggunaan pakaian adat di sekolah, hingga kampanye sekolah ramah anak.

Selain terobosan itu, transparansi juga ia dorong dengan membuka akses publik pada Neraca Pendidikan Daerah, aplikasi “Sekolah Kita”, dan kanal pengaduan. Secara administratif, Kementerian di bawah pimpinannya berhasil memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) serta efisiensi anggaran. Namun, gebrakan tersebut tidak selaras dengan prioritas Presiden. Pada 2016, ia digantikan oleh Muhadjir Effendy lewat reshuffle kabinet.

Langkah Politik bersama Prabowo

Pasca reshuffle, Anies tidak lama berada di luar panggung politik. Kesempatan besar datang ketika Pilkada DKI Jakarta 2017 memanas. Awalnya Prabowo menyiapkan Sandiaga Uno sebagai calon gubernur, tetapi akhirnya memberikan restu pada Anies untuk maju bersama Sandi.

Pertarungan berlangsung sengit karena mereka berhadapan dengan pasangan kuat, Ahok-Djarot dari PDI-P, serta Agus Harimurti Yudhoyono dari Partai Demokrat. Lewat dinamika kampanye yang penuh drama, pasangan Anies-Sandi berhasil keluar sebagai pemenang.

Gubernur DKI Jakarta dan Kontroversi Kebijakan

Dilantik pada Oktober 2017, langkah pertama Anies langsung menyentuh isu sensitif: menutup Hotel Alexis dan menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta. Kebijakan itu memicu reaksi pro-kontra, menandai gaya kepemimpinannya yang sering memunculkan polarisasi.

Selama menjabat, berbagai programnya seperti Rumah DP 0 Rupiah, OK OCE, penataan Tanah Abang, hingga isu banjir Jakarta selalu mengundang perdebatan. Namun di balik kontroversi, Pemprov DKI di bawah pimpinannya tetap mencatat prestasi, mulai dari penghargaan inovasi pelayanan publik hingga opini WTP dari BPK.

Dari Capres hingga Simbol Oposisi

Usai masa jabatannya sebagai gubernur, Anies kembali jadi pusat perhatian. Partai NasDem melalui Surya Paloh mendeklarasikannya sebagai calon presiden 2024. Langkah ini mengejutkan karena jarang ada partai besar mendukung tokoh non-kader. Ia kemudian didukung Demokrat dan PKS dalam Koalisi Perubahan, meski dinamika politik membuat Demokrat keluar dan digantikan PKB.

Anies akhirnya berpasangan dengan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai cawapres. Namun, pada Pilpres 2024, mereka belum berhasil menandingi pasangan Prabowo-Gibran yang disokong penuh oleh Presiden Jokowi. Pasca kekalahan itu, Anies sempat disebut-sebut bakal maju kembali di Pilkada DKI 2024, tetapi gagal mendapat tiket.

Meski demikian, ia tetap hadir sebagai simbol oposisi. Di tengah dominasi satu poros kekuasaan, kehadirannya menjaga keseimbangan politik dengan terus menyuarakan narasi perubahan.

Membaca Arah Masa Depan Anies lewat Teori Filsafat Politik

Perjalanan Anies bisa dibaca lewat berbagai teori filsafat politik. Max Weber menilai legitimasi politik hadir dalam bentuk tradisional, karismatik, dan legal-rasional. Anies saat ini masih memiliki kharisma sebagai simbol perlawanan, tetapi tanpa jabatan formal, kekuatannya bisa cepat memudar.

Menurut Habermas, eksistensi Anies akan bertahan jika ia mampu menguasai ruang wacana publik. Namun wacana saja tidak cukup ia harus menghubungkannya dengan basis massa nyata. Gramsci menekankan pentingnya membangun counter-hegemony lewat institusi permanen. Jika Anies tidak membentuk wadah politik atau gerakan sosial baru, ia berisiko hanya menjadi simbol sesaat.

Sementara Nietzsche melihat politik sebagai arena kehendak berkuasa. Jika Anies berani menciptakan jalur baru di luar sistem lama, ada kemungkinan ia bisa melahirkan momentum politik berbeda.

Tiga Skenario Anies ke Depan

Eksis dan Naik Kelas – membangun partai atau gerakan baru, memikat kelas menengah sekaligus massa akar rumput.

Eksis tapi Redup – hanya aktif di forum diskusi atau sesekali mengkritik pemerintah tanpa memengaruhi realitas politik.

Hilang Perlahan – tanpa wadah struktural, ia hanya akan dikenang sebagai bagian sejarah politik.

Kisah Anies Baswedan adalah perjalanan penuh persimpangan. Dari akademisi menjadi jubir kampanye, dari menteri yang direshuffle hingga gubernur Jakarta, dari capres yang kalah hingga simbol oposisi. Konsistensi yang menonjol darinya adalah keberanian mengambil jalan berbeda.

Masa depan politiknya kini tergantung pada pilihan besar: apakah ia berani melampaui peran simbolis dan membangun basis struktural, atau hanya bertahan sebagai suara kritis di pinggir kekuasaan. Dengan demikian, jejak langkah Anies belum selesai sejarah politik Indonesia masih membuka ruang bagi dirinya untuk menulis babak baru.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index