Bank

Pajak Bank Bulion Swasta

Pajak Bank Bulion Swasta
Pajak Bank Bulion Swasta

JAKARTA - Peraturan baru terkait pajak atas perdagangan emas batangan di Indonesia kini tidak hanya mengikat bank bulion milik BUMN, tetapi juga berlaku bagi lembaga jasa keuangan swasta yang memiliki izin usaha bulion. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 51 Tahun 2025 yang mengatur pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dengan tarif 0,25% atas setiap transaksi pembelian emas batangan.

Penerapan PPh Pasal 22 pada Bank Bulion Swasta

Kepala Seksi Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh II Ditjen Pajak (DJP), Ilmiantio Himawan, menegaskan bahwa kewajiban memungut PPh sebesar 0,25% tidak eksklusif untuk BUMN saja, tetapi juga berlaku bagi bank-bank swasta yang telah mendapatkan izin resmi menjalankan kegiatan usaha bulion. “Misalkan ada pelaku bulion yang bukan BUMN seperti bank-bank swasta yang mendapatkan izin sebagai kegiatan usaha bulion, ketika dia beli emas batangan itu juga kita atur di PMK 51/2025 wajib memungut sebesar 0,25%,” jelas Ilmiantio.

Hingga saat ini, dua lembaga jasa keuangan yang telah memperoleh izin resmi untuk menjalankan usaha bulion adalah Pegadaian dan Bank Syariah Indonesia (BSI), keduanya merupakan anak usaha BUMN. Dengan diperluasnya cakupan pajak ini, diharapkan tercipta kesetaraan perlakuan antara pelaku usaha bulion BUMN dan non-BUMN.

Ruang Lingkup PMK 51/2025 dan Penerapan Pajak

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51 Tahun 2025 dan Nomor 52 Tahun 2025 secara khusus mengatur pemungutan PPh Pasal 22 atas kegiatan perdagangan emas batangan. Namun, hal ini tidak mencakup seluruh aktivitas usaha bulion lainnya seperti simpanan emas, pembiayaan, penitipan emas, dan kegiatan non-perdagangan lainnya. Kegiatan tersebut tetap dikenai pajak berdasarkan peraturan yang telah ada sebelumnya.

“PMK 51/2025 dan PMK 52/2025 ini sesungguhnya hanya melingkupi aspek perdagangan saja, sedangkan 3 lainnya itu dikenakan pajak sesuai dengan peraturan yang sudah ada,” ujar Ilmiantio.

PPh Pasal 22 dengan tarif 0,25% ini tidak bersifat final, sehingga pemungutan pajak tersebut dapat dikreditkan oleh wajib pajak pada mekanisme pelaporan pajak mereka. Selain itu, transaksi pembelian emas batangan dengan nilai kurang dari Rp10 juta tidak diwajibkan melakukan pemungutan pajak ini.

Implikasi dan Tujuan Kebijakan

Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat pengawasan perpajakan atas transaksi emas batangan dan menjaga ekosistem usaha bulion yang sehat. Dengan memberlakukan pungutan pajak pada lembaga jasa keuangan swasta, pemerintah ingin menciptakan kesetaraan dalam perlakuan pajak sehingga tidak ada celah yang dapat dimanfaatkan untuk menghindari kewajiban pajak.

Selain itu, pengenaan PPh Pasal 22 diharapkan dapat menambah penerimaan negara dari sektor usaha bulion. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, mengungkapkan bahwa penerapan sejumlah regulasi pajak baru termasuk pemungutan pajak oleh bank bulion merupakan langkah strategis pemerintah untuk mencapai target penerimaan pajak tahun 2025.

“Kebijakan sebagian besar sudah kita telurkan dan sekarang kita implementasikan. Kita lihat perkembangannya dan evaluasi, karena ini tinggal 4-5 bulan,” tutur Yon Arsal.

Pengawasan dan Optimalisasi Pajak Melalui Digitalisasi

Selain pengenaan PPh Pasal 22, pemerintah juga meningkatkan pengawasan dan efisiensi dalam proses audit kepabeanan dengan menerapkan teknologi seperti e-audit. Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) telah mengintegrasikan big data dan artificial intelligence dalam audit kepabeanan untuk memastikan kepatuhan dan transparansi dalam perdagangan internasional.

Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan DJBC, Budi Prasetiyo, menyatakan bahwa penggunaan e-audit dapat membuat proses pemeriksaan lebih efisien dan akurat, sekaligus membantu pemerintah mengantisipasi tantangan pengawasan akibat meningkatnya volume dan kompleksitas perdagangan.

Kebijakan Pajak Global dan Insentif Investasi

Seiring dengan dinamika pajak global, pemerintah Indonesia juga mengkaji skema insentif pajak yang relevan dan berdaya tarik bagi investor. Pajak minimum global menjadi salah satu isu yang tengah diperhatikan, dengan pemerintah berupaya menyesuaikan kebijakan untuk tetap menarik investasi sekaligus menjaga penerimaan pajak nasional.

Yon Arsal menegaskan pentingnya dialog bersama dengan peneliti, akademisi, dan pelaku industri untuk merumuskan insentif yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan global. “Skema insentif yang paling pas buat industri kita seperti apa? Kita memahami insentif diperlukan untuk attract investment dari luar ke dalam,” katanya.

Pengelolaan Kelebihan Bayar Pajak

Selain pengenaan pajak, pemerintah juga mempermudah pengelolaan pajak bagi wajib pajak dengan mengatur kompensasi kelebihan penyetoran pajak melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025. Kebijakan ini memungkinkan wajib pajak melakukan kompensasi kelebihan bayar tanpa harus dilakukan secara berurutan, sehingga memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan.

Dengan diberlakukannya pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 0,25% pada seluruh lembaga jasa keuangan yang melakukan kegiatan usaha bulion, termasuk bank bulion swasta, pemerintah berupaya memperkuat sistem perpajakan dan mendorong transparansi dalam industri perdagangan emas. Langkah ini juga menjadi bagian dari strategi nasional untuk meningkatkan penerimaan pajak sekaligus menjaga iklim usaha yang sehat dan adil.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index