BURSA

Bursa Asia Beragam Setelah Wall Street Jeda

Bursa Asia Beragam Setelah Wall Street Jeda
Bursa Asia Beragam Setelah Wall Street Jeda

JAKARTA – Bursa saham Asia memulai perdagangan dengan pola pergerakan yang beragam, mengikuti jeda rally yang terjadi di Wall Street beberapa waktu lalu. Meskipun indeks saham di Amerika Serikat sempat mengalami kenaikan signifikan hingga hampir menyentuh level tertinggi dalam beberapa tahun terakhir, antusiasme bursa mulai mereda. Kekhawatiran terhadap bursa yang terlalu panas dan valuasi saham yang tinggi mulai memunculkan sinyal kewaspadaan di kalangan investor global.

Pergerakan Kontrak Berjangka dan Penguatan Yen

Awal perdagangan di kawasan Asia menunjukkan kontrak berjangka saham Australia dan Hong Kong yang melemah, berbeda dengan Jepang yang mengalami kenaikan pada sesi yang sama. Hal ini menandakan adanya ketidakpastian investor dalam menentukan arah bursa jangka pendek. Sementara itu, kontrak saham Amerika Serikat naik tipis setelah indeks S&P 500 berakhir hampir stagnan, menandai jeda dari kenaikan hampir 30% yang diraih sejak titik terendah di bulan April.

Dolar AS terus mengalami tekanan dan melemah selama enam sesi berturut-turut, menandai penurunan terpanjang sejak Maret 2024. Yen Jepang menjadi mata uang yang memimpin penguatan terhadap dolar AS di antara mata uang utama lain. Penguatan yen ini dipicu oleh pernyataan kepala negosiator dagang Jepang yang menyampaikan bahwa Amerika Serikat telah setuju mengakhiri praktik "stacking" pada tarif universal sekaligus memangkas pungutan terhadap impor mobil. Kesepakatan tersebut memberikan harapan bagi pelaku bursa bahwa ketegangan dagang global dapat mereda, meskipun ketidakpastian masih tetap ada.

Ketegangan Perdagangan dan Berita Geopolitik yang Membayangi Bursa

Walaupun terdapat beberapa perkembangan positif dalam negosiasi dagang, bursa masih menghadapi tekanan akibat meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat dan India terkait kebijakan tarif perdagangan. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi global.

Selain itu, kondisi geopolitik juga menambah volatilitas bursa. Presiden AS, Donald Trump, memberi sinyal bahwa sanksi baru terhadap Rusia bisa segera diumumkan, sementara Menteri Keuangan Scott Bessent mengindikasikan kemungkinan pemberlakuan tarif terhadap China terkait pembelian minyak Rusia. Langkah-langkah ini berpotensi menimbulkan ketegangan baru dalam hubungan dagang antarnegara yang berpengaruh besar terhadap bursa global.

Tantangan bagi Bursa Saham Amerika

Di tengah reli tajam bursa saham Amerika yang mencapai kenaikan 30% dari titik terendahnya pada April, sejumlah perusahaan besar mulai memperingatkan adanya risiko koreksi jangka pendek. Valuasi saham yang sudah sangat tinggi dianggap sebagai salah satu pemicu potensi pelemahan di masa mendatang. Investor yang sebelumnya optimistis mulai menunjukkan sikap lebih hati-hati, terutama mengingat faktor musiman yang historis menunjukkan bahwa bulan Agustus dan September merupakan periode dengan performa terburuk bagi indeks S&P 500.

Imbal Hasil Obligasi dan Dampaknya pada Bursa

Sementara itu, pasar obligasi juga menunjukkan dinamika yang cukup signifikan. Obligasi Australia melemah setelah hasil lelang obligasi pemerintah senilai US$25 miliar pada Kamis lalu kurang mendapat respons positif. Kenaikan imbal hasil obligasi jangka panjang sempat mereda, namun tetap berada pada level tinggi, dengan imbal hasil obligasi tenor 30 tahun di angka 4,83% dan tenor 10 tahun sebesar 4,25%.

Kondisi ini menunjukkan adanya kekhawatiran di bursa terhadap prospek ekonomi dan inflasi, yang pada akhirnya memengaruhi keputusan investor dalam berinvestasi pada surat utang pemerintah.

Indikator Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bursa

Dari sisi fundamental ekonomi, klaim pengangguran berkelanjutan di Amerika Serikat meningkat ke level tertinggi sejak November 2021. Hal ini menjadi salah satu indikasi melemahnya pasar tenaga kerja AS, yang dapat mempengaruhi kebijakan moneter Federal Reserve di masa mendatang.

Dalam konteks tersebut, munculnya nama Deputi Gubernur Federal Reserve Christopher Waller sebagai kandidat kuat gubernur bank sentral memberi sinyal adanya kemungkinan perubahan arah kebijakan. Presiden Trump juga menunjuk Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Stephen Miran sebagai calon deputi gubernur Fed, meskipun masih memerlukan persetujuan Senat.

Sementara itu, Bank of England mengambil langkah berbeda dengan memangkas suku bunga ke level terendah dalam lebih dari dua tahun, memberikan sentimen beragam bagi investor global. Keputusan tersebut mengindikasikan kekhawatiran Inggris terhadap perlambatan ekonomi, sekaligus memperbesar ketidakpastian bursa dalam menentukan langkah kebijakan berikutnya.

Ketidakpastian dan Waspada di Bursa Global

Meski terdapat beberapa tanda-tanda positif seperti penguatan yen dan potensi meredanya ketegangan dagang AS-Jepang, bursa global masih menghadapi berbagai risiko dari ketegangan perdagangan lain serta dinamika geopolitik yang kompleks. Reli di Wall Street yang sempat melonjak tinggi juga menunjukkan tanda-tanda perlambatan, dengan investor mulai memperhitungkan kemungkinan koreksi akibat valuasi yang sudah sangat tinggi dan faktor musiman.

Para pelaku bursa di Asia dan dunia kini memasuki fase yang menuntut kehati-hatian dan kesiapan menghadapi volatilitas yang lebih besar. Keseimbangan antara berita positif dan negatif akan terus menjadi faktor penentu arah pergerakan bursa dalam waktu dekat.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index