JAKARTA - Pasar energi global kembali menunjukkan dinamika yang menarik dengan naiknya harga batu bara acuan (HBA) di awal Agustus. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bahwa harga HBA untuk periode pertama bulan ini naik menjadi US$ 102,22 per ton. Ini merupakan peningkatan 4,68 persen dari periode sebelumnya yang berada di level US$ 97,65 per ton. Kenaikan ini memberi sinyal bahwa tren pemulihan pasar batu bara mulai terlihat setelah sempat melemah dalam beberapa pekan terakhir.
Peningkatan harga ini tidak lepas dari perubahan permintaan dan pasokan di pasar global. Meski demikian, kenaikan ini hanya berlaku pada kategori HBA utama, yakni batu bara dengan kalori 6.322 GAR. Tiga kategori lainnya justru mengalami penurunan harga. Pergerakan harga yang bervariasi ini menunjukkan bahwa dinamika sektor pertambangan tidak seragam dan sangat bergantung pada spesifikasi komoditas serta kebutuhan pasar.
Keputusan resmi pemerintah mengenai harga ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 261.K/MB.01/MEM.B/2025. Dalam keputusan tersebut, harga batu bara dibagi dalam empat kategori berdasarkan nilai kalorinya, dengan rincian sebagai berikut:
HBA (6.322 GAR): US$ 102,22 per ton (naik dari US$ 97,65)
HBA I (5.300 GAR): US$ 67,33 per ton (turun dari US$ 75,94)
HBA II (4.100 GAR): US$ 45,74 per ton (turun dari US$ 48,35)
HBA III (3.400 GAR): US$ 34,86 per ton (turun dari US$ 36,00)
Meskipun hanya satu kategori yang mengalami kenaikan, hal ini dianggap sebagai tanda awal dari pemulihan harga pasca-penurunan tajam yang terjadi sebelumnya. Saat itu, harga batu bara sempat turun drastis dari US$ 107,35 menjadi US$ 97,65 per ton. Naiknya HBA utama menandakan potensi peningkatan permintaan terhadap batu bara berkalori tinggi di pasar ekspor maupun dalam negeri.
Tak hanya menetapkan harga batu bara, Kementerian ESDM juga merilis harga mineral acuan (HMA) untuk berbagai komoditas logam. Penetapan HMA ini diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 80.K/MB.01/MEM.B/2025, yang berlaku dua kali dalam sebulan. Harga HMA menjadi referensi penting bagi industri pertambangan logam dan menjadi dasar dalam transaksi ekspor, perpajakan, serta perhitungan royalti.
Berikut adalah rincian HMA untuk periode pertama bulan ini:
Nikel: US$ 15.028 per dmt (naik dari US$ 14.926)
Aluminium: US$ 2.604,4 per dmt (naik dari US$ 2.577,4)
Tembaga: US$ 9.725,3 per dmt (turun dari US$ 9.952,5)
Kobalt: US$ 32.894 per dmt (turun tipis dari US$ 32.896)
Dari data di atas, terlihat bahwa hanya dua dari empat logam utama yang mengalami kenaikan harga, yakni nikel dan aluminium. Kenaikan harga nikel diperkirakan berkaitan dengan permintaan tinggi dari sektor baterai kendaraan listrik (EV), di mana nikel merupakan salah satu komponen utama. Sedangkan aluminium yang digunakan secara luas di sektor konstruksi dan manufaktur juga menunjukkan permintaan yang stabil.
Di sisi lain, harga tembaga dan kobalt sedikit melemah. Hal ini bisa disebabkan oleh perlambatan industri manufaktur di beberapa negara besar atau fluktuasi mata uang global yang mempengaruhi harga komoditas.
Perubahan harga komoditas energi dan mineral ini penting tidak hanya bagi pelaku usaha, tetapi juga bagi pemerintah sebagai pengelola sumber daya alam. Kenaikan harga batu bara dan sebagian besar logam mengindikasikan bahwa penerimaan negara dari sektor pertambangan berpotensi meningkat. Sebagai contoh, meningkatnya HBA akan berdampak langsung terhadap nilai pungutan royalti yang dibayarkan perusahaan tambang kepada negara.
Namun, bagi pelaku industri pengguna batu bara atau logam, perubahan ini bisa menjadi tantangan tersendiri. Biaya produksi berpotensi meningkat seiring dengan naiknya harga bahan baku. Oleh karena itu, penting bagi sektor industri untuk terus mengadopsi efisiensi operasional dan strategi manajemen risiko harga komoditas agar tetap kompetitif.
Secara umum, kenaikan HBA dan sebagian harga logam menegaskan bahwa sektor energi dan mineral masih memainkan peran vital dalam perekonomian nasional. Pemerintah pun terus mendorong agar penetapan harga ini dilakukan secara transparan dan berlandaskan data pasar global, agar tetap mencerminkan kondisi riil dan tidak merugikan pelaku usaha maupun negara.
Kementerian ESDM menyatakan bahwa pembaruan harga HBA dan HMA akan terus dilakukan dua kali dalam sebulan, yakni setiap tanggal 1 dan 15. Skema ini diharapkan dapat mencerminkan fluktuasi pasar secara lebih akurat dan adaptif terhadap kondisi terbaru.
Dengan kebijakan ini, Indonesia diharapkan dapat terus menjaga keseimbangan antara kepentingan fiskal negara dan iklim usaha yang kondusif bagi pelaku sektor pertambangan dan industri terkait. Di tengah ketidakpastian ekonomi global, transparansi dan konsistensi dalam pengelolaan harga komoditas energi menjadi kunci utama untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional.