Sri Mulyani

Sri Mulyani Pangkas Subsidi Energi 2025: Efisiensi

Sri Mulyani Pangkas Subsidi Energi 2025: Efisiensi
Sri Mulyani Pangkas Subsidi Energi 2025: Efisiensi

JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengungkap proyeksi terbaru bahwa anggaran subsidi energi, khususnya untuk LPG 3 kilogram dan listrik, kemungkinan besar tidak akan mencapai target sepanjang tahun anggaran berjalan. Sinyal ini menandai adanya pergeseran kebijakan fiskal yang dapat berdampak langsung pada konsumsi energi rumah tangga, khususnya dari kalangan masyarakat menengah ke bawah.

Dalam laporan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Semester I 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa outlook subsidi LPG 3 kilogram hanya berada di angka Rp68,7 triliun. Angka ini menunjukkan penurunan tajam sebesar 21,03 persen dibanding target awal yang sebesar Rp87 triliun.

Kebijakan ini memberikan kontribusi besar terhadap penurunan total subsidi energi yang ditargetkan hanya mencapai Rp183,9 triliun tahun ini. Padahal, dalam APBN awal, alokasinya dipatok sebesar Rp203,4 triliun.

Selain LPG 3 kilogram, subsidi listrik juga mengalami penyesuaian. Outlook subsidi listrik sepanjang tahun ini diproyeksikan sebesar Rp89,1 triliun, sedikit lebih rendah dibandingkan target awal sebesar Rp89,7 triliun.

Meskipun tidak dijelaskan secara rinci alasan penyesuaian target subsidi tersebut, laporan keuangan negara menyebutkan sejumlah variabel yang memengaruhi capaian ini, seperti fluktuasi harga minyak mentah Indonesia (ICP), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, serta volume penyaluran barang bersubsidi seperti bahan bakar minyak (BBM), LPG 3 kg, dan listrik.

"Realisasi subsidi energi sampai dengan semester I tahun 2025 mencapai Rp66.894,0 miliar, atau 32,9 persen terhadap pagu APBN tahun 2025," tertulis dalam laporan pelaksanaan APBN Semester I 2025.

Jika dirinci, subsidi BBM jenis tertentu telah mencapai Rp9 triliun atau 33,6 persen dari alokasi tahun ini. Volume penyaluran BBM tercatat sebesar 7.410,1 ribu kiloliter, meningkat tipis sebesar 3,4 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Pada sektor LPG 3 kilogram, realisasi anggaran hingga pertengahan tahun ini baru mencapai Rp21,3 triliun atau sekitar 24,5 persen dari target. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan capaian periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp34,2 triliun. Namun, menariknya, volume distribusi LPG 3 kilogram justru mengalami kenaikan sebesar 3,8 persen menjadi 3.494 juta kilogram.

Artinya, pemerintah berhasil mendistribusikan lebih banyak LPG dengan nilai subsidi yang lebih kecil. Di satu sisi, hal ini mencerminkan efisiensi anggaran. Namun, di sisi lain, juga menimbulkan pertanyaan mengenai keberlanjutan akses subsidi bagi kelompok masyarakat rentan.

Sementara itu, realisasi subsidi listrik menunjukkan tren yang sedikit lebih positif. Hingga pertengahan tahun ini, subsidi listrik telah mencapai Rp36,6 triliun atau 40,8 persen dari target tahunan. Capaian ini lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yakni Rp29,7 triliun. Ini menunjukkan peningkatan baik dalam alokasi maupun pemanfaatan subsidi listrik oleh rumah tangga penerima manfaat.

Kebijakan efisiensi subsidi ini memang menjadi bagian dari strategi fiskal pemerintah untuk menyeimbangkan anggaran negara. Namun, langkah ini harus diimbangi dengan perlindungan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang paling terdampak oleh kenaikan biaya energi.

Pengurangan subsidi, jika tidak disertai dengan skema bantuan sosial yang memadai, bisa berisiko menekan daya beli masyarakat. Terutama dalam situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih akibat tekanan global dan domestik, seperti inflasi dan fluktuasi harga pangan serta energi.

Sri Mulyani tidak memberikan penjelasan rinci mengenai alasan penurunan proyeksi subsidi, namun data dalam laporan menunjukkan bahwa efisiensi ini sejalan dengan strategi jangka menengah pemerintah. Fokusnya adalah pada pengelolaan anggaran yang lebih terukur, sambil tetap menjaga ketahanan fiskal dalam menghadapi risiko global.

Namun, efisiensi semacam ini bukan tanpa konsekuensi. Dalam jangka pendek, rumah tangga miskin dan rentan bisa mengalami peningkatan beban biaya energi. Sementara dalam jangka panjang, keberhasilan program subsidi sangat tergantung pada akurasi data penerima manfaat serta efektivitas distribusi barang bersubsidi.

Pemerintah perlu memastikan bahwa efisiensi subsidi tidak mengorbankan prinsip keadilan sosial. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan pemanfaatan teknologi untuk memperbaiki basis data penerima subsidi energi. Selain itu, penguatan sinergi antar lembaga seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bappenas, dan lembaga pengawas lainnya, menjadi krusial untuk memastikan subsidi tepat sasaran.

Di sisi lain, perlu juga ditingkatkan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai efisiensi penggunaan energi. Perubahan perilaku konsumsi dapat menjadi bagian penting dalam upaya menjaga keberlanjutan subsidi energi nasional.

Langkah-langkah seperti penggunaan kompor listrik, penggantian lampu hemat energi, dan mendorong masyarakat untuk beralih ke kendaraan listrik menjadi bagian dari kebijakan jangka panjang pemerintah dalam memperbaiki struktur konsumsi energi nasional.

Jika penyesuaian subsidi ini dikelola dengan cermat dan berlandaskan data akurat, maka bukan tidak mungkin pengurangan anggaran justru berkontribusi terhadap efisiensi yang lebih luas serta mendukung transformasi energi yang lebih berkelanjutan.

Namun, tetap harus ada jaminan bahwa rakyat kecil tidak menjadi korban kebijakan efisiensi ini. Karena sejatinya, tujuan utama dari subsidi energi adalah memastikan seluruh lapisan masyarakat dapat mengakses energi dengan harga terjangkau, demi mendukung kehidupan yang layak dan produktif.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index