JAKARTA - Kualitas riset ilmiah di Indonesia kembali menjadi perbincangan setelah sejumlah perguruan tinggi ternama tercantum dalam laporan Research Integrity Risk Index (RI²). Merespons temuan tersebut, Komisi X DPR RI mendesak agar arah kebijakan penelitian nasional tidak lagi semata berorientasi pada kuantitas, tetapi lebih menekankan pada integritas ilmiah dan dampak sosial.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Kurniasih Mufidayati, menegaskan bahwa sistem riset dan publikasi ilmiah di Indonesia perlu segera dievaluasi menyeluruh. Ia menilai selama ini pendekatan yang diterapkan terlalu berfokus pada peningkatan jumlah publikasi—terutama di pangkalan data jurnal internasional seperti Scopus—tanpa memperhatikan kualitas atau proses ilmiah yang dijalankan.
"Ini momentum bagi pemerintah dan perguruan tinggi untuk melakukan evaluasi serius terhadap sistem yang berlaku saat ini dalam penelitian dan penulisan akademik," kata Kurniasih.
Ketergantungan pada Angka Picu Risiko Integritas Akademik
Menurut Kurniasih, tekanan untuk meningkatkan jumlah publikasi dan mengejar peringkat internasional telah memunculkan praktik yang mengorbankan etika dan integritas akademik. Ia menyebut fenomena ini sebagai gejala dari sistem yang mendorong capaian kuantitatif secara ekstrem.
“Dosen dan perguruan tinggi merasa terdorong untuk mengejar angka, dengan segala cara. Etika akademik pun menjadi kurang diperhatikan dan sangat mungkin dikorbankan,” ujarnya dengan nada prihatin.
Ia menambahkan bahwa kecenderungan ini bukan hanya berdampak pada kualitas riset, tetapi juga berisiko menciptakan budaya akademik yang lemah secara moral dan jauh dari nilai-nilai ilmiah yang seharusnya dijunjung tinggi dalam dunia pendidikan tinggi.
Dorongan untuk Audit Nasional Sistem Penelitian
Sebagai langkah konkret, Kurniasih mendorong dilakukannya audit menyeluruh terhadap sistem penjaminan mutu riset secara nasional. Menurutnya, langkah ini penting agar capaian publikasi dan peringkat kampus tidak diperoleh dengan mengorbankan prinsip-prinsip dasar ilmiah.
“Kebijakan riset nasional dan perguruan tinggi harus diarahkan untuk menilai proses, dampak sosial, dan integritas ilmiah,” tegasnya.
Ia juga menyarankan agar indikator evaluasi tidak hanya menitikberatkan pada jumlah artikel terindeks atau kutipan, melainkan juga melihat kontribusi nyata dari hasil penelitian terhadap masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Dukungan dari Kementerian: Fokus pada Kualitas, Bukan Kuantitas
Pernyataan Kurniasih mendapat penguatan dari Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek), Togar M. Simatupang. Ia mengingatkan perguruan tinggi agar tidak terpaku pada target jumlah publikasi.
“Perguruan tinggi seharusnya meningkatkan kualitas publikasi, sehingga menjadi bermutu dan berdampak,” kata Togar.
Ia menekankan bahwa riset yang dihasilkan oleh akademisi seharusnya mampu memberikan kontribusi nyata dan memperkuat ekosistem pengetahuan nasional, bukan sekadar menjadi angka statistik dalam pemeringkatan.
Research Integrity Risk Index: Sinyal Bahaya untuk Dunia Akademik
Research Integrity Risk Index (RI²) yang menjadi pemicu perdebatan ini merupakan hasil studi dari Prof. Lokman Meho dari American University of Beirut. Indeks ini dikembangkan untuk memetakan risiko institusi terhadap pelanggaran integritas riset, dengan menggunakan pendekatan berbasis data empiris dan indikator yang dapat diverifikasi secara independen.
Penilaian dilakukan dengan melihat proporsi jurnal yang ditarik dari publikasi ilmiah, sebagai cerminan dari potensi pelanggaran seperti plagiarisme, manipulasi data, atau rekayasa hasil.
RI² menjadi metrik pertama di dunia yang mencoba memberikan gambaran komprehensif mengenai integritas akademik institusi pendidikan tinggi secara global. Dalam laporannya, sekitar 13 perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, baik negeri maupun swasta, masuk dalam sorotan karena menunjukkan angka penarikan artikel yang tinggi.
Menimbang Kembali Tujuan Akhir Penelitian
Kasus ini menyulut perbincangan lebih luas tentang makna dan arah dari kegiatan penelitian itu sendiri. Banyak kalangan akademisi mulai mempertanyakan apakah kebijakan riset yang terlalu menekankan pada produktivitas semu justru mengaburkan nilai sejati dari proses ilmiah.
Beberapa pihak menyoroti bahwa universitas seharusnya menjadi tempat berkembangnya pemikiran kritis dan inovasi, bukan hanya mesin produksi artikel. Untuk itu, ekosistem riset perlu didesain ulang agar lebih mendorong eksplorasi ilmiah yang jujur dan bertanggung jawab.
Refleksi bagi Perguruan Tinggi di Indonesia
Dengan masuknya sejumlah perguruan tinggi nasional dalam indeks risiko integritas tersebut, muncul urgensi untuk introspeksi. Bukan hanya dari sisi kebijakan internal, tetapi juga dari cara pemerintah membentuk kerangka besar arah riset nasional.
Isu ini sekaligus menjadi alarm bahwa reformasi pendidikan tinggi tidak bisa berhenti pada peningkatan angka, melainkan harus menyentuh akar persoalan: membangun budaya riset yang sehat, beretika, dan berorientasi pada kemaslahatan publik.
Menuju Ekosistem Ilmiah yang Berintegritas
Menjawab tantangan ini, penting bagi semua pemangku kepentingan—baik dari unsur pemerintah, akademisi, maupun masyarakat—untuk kembali meneguhkan komitmen terhadap riset yang bermutu, berdampak, dan berintegritas. Ketika kuantitas dan kualitas ditempatkan dalam keseimbangan yang tepat, barulah hasil penelitian dapat menjadi pilar kemajuan bangsa yang sesungguhnya.