JAKARTA - Bursa Efek Indonesia (BEI) membuka kembali perdagangan saham pada Selasa, 8 April 2025, setelah libur panjang Lebaran. Namun, alih-alih kembali dengan optimisme, pasar modal Indonesia justru dibuka dengan guncangan hebat. Harga saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), salah satu saham unggulan di indeks LQ45, terperosok tajam hingga 12,94% pada awal sesi perdagangan hari ini.
Tak hanya BBCA, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga mengalami koreksi ekstrem. Saat pembukaan, IHSG terjun bebas hingga 9,19% ke level 5.912,06 poin, dibandingkan dengan penutupan terakhir sebelum libur panjang Lebaran pada Kamis, 27 Maret 2025 lalu. Lonjakan aksi jual besar-besaran ini bahkan memaksa otoritas bursa untuk memberlakukan trading halt, yaitu penghentian sementara perdagangan untuk menenangkan pasar.
Bursa Alami Guncangan Usai Libur Panjang
Seperti diketahui, perdagangan di BEI sempat libur cukup panjang dalam rangka cuti bersama Hari Raya Idulfitri 2025. Libur yang berlangsung lebih dari sepekan ini membuat akumulasi sentimen negatif global dan domestik tak dapat segera terserap pasar. Akibatnya, saat pasar dibuka, tekanan jual langsung meledak.
Mengutip laporan dari kontan.co.id, saham BBCA, yang dikenal sebagai salah satu saham dengan kapitalisasi pasar terbesar di Indonesia, tak luput dari tekanan. Saham bank swasta terbesar ini mencatatkan penurunan signifikan sebesar 12,94% dalam beberapa menit pertama perdagangan.
Sementara itu, secara keseluruhan, indeks utama BEI, yaitu IHSG, juga mengalami koreksi tajam. Penurunan hampir 10% ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap dinamika pasar global yang kian menekan, ditambah lagi dengan kekhawatiran terhadap pelemahan nilai tukar rupiah serta potensi lonjakan inflasi usai periode Lebaran.
Menurut sumber dari BEI, keputusan untuk melakukan trading halt merupakan langkah preventif untuk meredam kepanikan pasar. “Trading halt dilakukan untuk memberikan waktu bagi pelaku pasar agar dapat mencerna informasi dengan lebih baik dan mengurangi volatilitas yang berlebihan,” ujar sumber tersebut.
Faktor Pemicu: Sentimen Global dan Domestik Berpadu Tekan Pasar
Ada sejumlah faktor yang memicu aksi jual masif di awal pekan ini. Dari sisi global, sentimen negatif dipicu oleh kekhawatiran investor terhadap potensi kenaikan suku bunga acuan Federal Reserve (The Fed) Amerika Serikat yang lebih agresif, seiring inflasi AS yang bertahan tinggi.
Selain itu, gejolak geopolitik yang meningkat di berbagai kawasan, termasuk ketegangan di Timur Tengah dan konflik Rusia-Ukraina yang belum mereda, turut memperburuk sentimen risiko di pasar keuangan global. Situasi ini memicu pelarian modal dari pasar negara berkembang menuju aset-aset aman seperti dolar AS dan obligasi pemerintah AS.
“Pasar saham Indonesia terkena dampak dari tekanan global yang meningkat, terutama ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed yang membuat investor cenderung menarik dana dari pasar negara berkembang,” ungkap analis pasar modal.
Dari dalam negeri, kekhawatiran terhadap tekanan inflasi pasca Lebaran serta pelemahan nilai tukar rupiah yang mendekati Rp17.000 per dolar AS juga memperkuat tekanan jual di pasar saham. Sentimen ini diperburuk oleh kekhawatiran bahwa permintaan domestik yang biasanya menguat usai Lebaran mungkin tidak sekuat yang diharapkan, sehingga dapat menghambat momentum pemulihan ekonomi nasional.
Saham Perbankan Jadi Sasaran Aksi Jual
Saham-saham sektor perbankan, terutama BBCA, menjadi yang paling terpukul dalam aksi jual kali ini. BBCA yang dikenal sebagai saham blue chip andalan investor institusi, mengalami koreksi dalam hingga hampir 13%.
Analis menilai, saham BBCA tertekan karena sektor perbankan sangat sensitif terhadap isu suku bunga global dan stabilitas makroekonomi. Dengan ancaman kenaikan suku bunga acuan The Fed, margin bunga bersih (net interest margin/NIM) bank-bank besar Indonesia diprediksi dapat tertekan.
“BBCA menjadi salah satu saham yang paling tertekan karena sensitivitasnya terhadap dinamika suku bunga dan nilai tukar. Kenaikan yield obligasi global meningkatkan biaya dana, yang pada akhirnya dapat memangkas margin keuntungan bank,” jelas analis pasar modal.
Tak hanya BBCA, saham-saham perbankan lain seperti BBRI, BMRI, dan BBNI juga mencatatkan penurunan signifikan, meski tidak sedalam BBCA. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan jual di sektor keuangan cukup merata, mencerminkan kekhawatiran menyeluruh terhadap prospek sektor ini ke depan.
Upaya Stabilitas dari Regulator dan Harapan ke Depan
Merespons guncangan yang terjadi, otoritas bursa dan regulator keuangan terus memantau perkembangan pasar secara ketat. Langkah trading halt yang diterapkan menjadi salah satu upaya jangka pendek untuk meredakan gejolak. Dalam jangka menengah, diharapkan ada langkah-langkah lanjutan untuk memulihkan kepercayaan investor, baik dari sisi kebijakan fiskal maupun moneter.
“Langkah trading halt merupakan bagian dari mekanisme perlindungan investor dan stabilitas pasar. Kami terus berkoordinasi dengan otoritas terkait untuk memastikan pasar tetap berjalan dengan tertib dan transparan,” ujar sumber dari BEI.
Ke depan, pelaku pasar akan mencermati sejumlah katalis positif yang berpotensi meredam tekanan di pasar saham. Salah satunya adalah rilis data ekonomi domestik, seperti pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2025, inflasi, serta neraca perdagangan. Jika data-data ini menunjukkan hasil yang solid, maka bisa menjadi penopang bagi IHSG untuk bangkit kembali.
Selain itu, investor juga menunggu arah kebijakan Bank Indonesia, terutama dalam hal stabilisasi nilai tukar dan pengendalian inflasi. Dengan bauran kebijakan yang tepat, diharapkan volatilitas pasar bisa ditekan dan kepercayaan investor kembali pulih.
Awal Pekan yang Berat untuk Pasar Saham RI
Pembukaan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia pasca libur Lebaran 2025 diwarnai gejolak hebat. IHSG anjlok hampir 10% dan saham BBCA terjun hampir 13%, memicu dilakukannya trading halt oleh otoritas bursa. Tekanan eksternal seperti ancaman kenaikan suku bunga The Fed, ketegangan geopolitik global, serta kekhawatiran domestik terkait inflasi dan pelemahan rupiah menjadi penyebab utama aksi jual besar-besaran ini.
Meski demikian, ada harapan bahwa pasar akan mulai stabil seiring dengan respons kebijakan dari pemerintah dan otoritas moneter, serta rilis data ekonomi domestik yang lebih baik. Para pelaku pasar pun diimbau tetap tenang dan cermat dalam membaca arah pergerakan pasar ke depan.