GAS

Industri Desak Implementasi HGBT Tanpa Batasan Alokasi Gas

Industri Desak Implementasi HGBT Tanpa Batasan Alokasi Gas
Industri Desak Implementasi HGBT Tanpa Batasan Alokasi Gas

Jakarta – Industri pengguna gas bumi meminta pemerintah untuk memastikan implementasi Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) berjalan tanpa pembatasan alokasi gas bagi industri. Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), Yustinus Gunawan, menekankan bahwa kebijakan ini harus dilaksanakan sepenuhnya oleh penyalur gas agar manfaatnya dapat dirasakan maksimal oleh industri.

Kebijakan HGBT diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 76K/MG.01/MEM.M/2025 yang ditandatangani Menteri ESDM pada 26 Februari 2025. Peraturan ini berlaku selama lima tahun dan bertujuan untuk memberikan harga gas yang lebih kompetitif bagi industri nasional.

“Kebijakan HGBT jilid 2 ini sangat diapresiasi oleh industri. Namun, kami masih mengevaluasi pelaksanaannya untuk memastikan apakah Kepmen ESDM No.76K/2025 benar-benar dijalankan sepenuhnya oleh pusat penyalur gas,” ujar Yustinus dalam keterangannya, Rabu 19 Maret 2025.

Menurutnya, kepastian implementasi kebijakan ini sangat bergantung pada Kementerian ESDM dan SKK Migas dalam memastikan alokasi gas hingga ke pengguna industri secara penuh. “Tentunya dari hulu gas harus tersedia 100 persen. Nah, ini juga harus dilaksanakan secara penuh seperti yang tertuang dalam Kepmen tersebut,” tegasnya.

Industri Terdampak Kebijakan Alokasi Gas

Yustinus menegaskan bahwa industri siap menyerap gas dengan harga USD 6,5 – 7 per MMBTU secara optimal, asalkan alokasi gas yang diberikan oleh penyalur juga sesuai dengan ketentuan Kepmen ESDM No.76K/2025. Ia juga menyoroti kebijakan Alokasi Gas Industri Tertentu (AGIT) yang dianggap merugikan sektor industri.

“Jangan sampai dalam implementasinya, penyalur menetapkan AGIT yang tidak sesuai dengan Kepmen. Ini tidak adil dan sangat merugikan industri,” ujar Yustinus.

Ketua Asosiasi Produsen Gelas Kaca Indonesia (APGI), Henry Sutanto, juga menyoroti perbedaan kuota atau volume gas yang ditetapkan oleh penyalur antara wilayah Timur dan Barat. Menurutnya, kebijakan ini menciptakan ketidakseimbangan yang merugikan industri di wilayah tertentu.

“Kuota gas untuk wilayah Barat mencapai 73 persen, sementara di wilayah Timur hanya 58 persen. Ini jelas menimbulkan persaingan yang tidak sehat,” ungkap Henry.

Henry berharap implementasi HGBT sebesar USD 7 per MMBTU dapat dijalankan sepenuhnya tanpa ada tambahan kebijakan AGIT dari penyalur gas. “Kita ingin janji pemerintah terealisasi, agar kuota AGIT atau sejenisnya tidak lagi diterapkan. Kepmen ESDM No.76K/2025 harus dipatuhi dan diterapkan sepenuhnya sesuai dengan kuota industri,” katanya.

Dampak Positif HGBT bagi Industri Keramik

Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), Edy Suyanto, menambahkan bahwa kebijakan HGBT sangat penting dalam mendorong pertumbuhan industri dan ekonomi nasional. Berdasarkan data Asaki, kebijakan HGBT tahap pertama dengan harga USD 6 per MMBTU telah mendorong ekspansi industri keramik hingga 75 juta meter persegi dengan total investasi Rp 20 triliun serta menyerap 15 ribu tenaga kerja.

Pada periode kedua yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2025, industri keramik menargetkan tambahan investasi Rp 8 triliun dengan kapasitas produksi meningkat sebesar 90 juta meter persegi dan penyerapan 6 ribu tenaga kerja baru. Jika dihitung dari periode pertama dan kedua, total ekspansi mencapai 170 juta meter persegi, atau setara dengan 215 persen dari total angka impor tahunan sebesar 80 juta meter persegi.

“Ini merupakan langkah strategis untuk substitusi impor dan meningkatkan daya saing industri dalam negeri,” ujar Edy.

Edy juga meminta pemerintah untuk mencari solusi atas kebijakan AGIT yang masih diterapkan oleh penyalur gas, terutama oleh Perusahaan Gas Negara (PGN). “Bagaimana industri bisa berani berinvestasi tahap kedua jika masih dikenakan kuota dengan harga regasifikasi yang mencapai USD 16,77 per MMBTU? Ini sangat membebani industri,” tegasnya.

Menurut Edy, Asaki telah berdiskusi dengan pihak PGN untuk mencari solusi terkait penetapan AGIT. Namun, PGN menyebut bahwa mereka hanya menerima sekitar 80 persen dari total alokasi yang ditetapkan dalam Kepmen ESDM, sementara sisanya masih terkendala pasokan dari hulu.

“Inilah yang kami harapkan pemerintah bisa turun tangan, agar keberlangsungan industri tetap terjaga, terutama saat industri keramik tengah bersemangat melakukan ekspansi setelah kebijakan anti-dumping, safeguard, dan SNI wajib keramik diterapkan,” pungkas Edy.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index