NIKEL

Ancaman Tambang Nikel Terhadap Pulau Kabaena: Keberlanjutan Lingkungan dan Kehidupan Sosial Warga Terancam

Ancaman Tambang Nikel Terhadap Pulau Kabaena: Keberlanjutan Lingkungan dan Kehidupan Sosial Warga Terancam
Ancaman Tambang Nikel Terhadap Pulau Kabaena: Keberlanjutan Lingkungan dan Kehidupan Sosial Warga Terancam

JAKARTA - Pulau Kabaena, yang terletak di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, kini berada dalam ancaman serius akibat aktivitas tambang nikel yang merajalela. Salah satu pulau kecil yang menjadi rumah bagi Suku Bajo, masyarakat yang dikenal sebagai "Aquaman" Indonesia karena kemampuan menyelam mereka, kini harus berjuang melawan dampak buruk industri nikel yang telah merusak lingkungan dan kehidupan sosial mereka.

1. 75% Pulau Kabaena Terbebani Izin Tambang Nikel

Sejak 2011, Pulau Kabaena telah menghadapi ancaman yang semakin besar dari tambang nikel. Berdasarkan data yang dihimpun, sekitar 75% dari luas pulau, yang hanya mencapai 872 km², kini terpapar izin tambang nikel. Namun, hal ini bertentangan dengan regulasi yang melarang pertambangan di pulau-pulau kecil dengan luas kurang dari 2.000 km². Keberadaan lebih dari 15 konsesi tambang nikel yang menguasai lebih dari 655 km² di Pulau Kabaena menimbulkan kekhawatiran besar mengenai kelangsungan hidup pulau ini. Selain itu, sebagian besar konsesi tambang tumpang tindih dengan hutan, baik hutan lindung maupun hutan produksi terbatas, yang semakin memperburuk kondisi lingkungan.

"Ini adalah ancaman nyata bagi kelangsungan hidup Pulau Kabaena. Sebagian besar wilayah sudah terkontaminasi oleh izin tambang yang tidak seharusnya diberikan di kawasan yang sangat rentan seperti ini," ujar Majid Ege, Ketua Lembaga Adat Moronene. "Kami menolak industri nikel, karena kami tahu itu hanya akan membawa bencana bagi kami," tambahnya.

2. Dampak Negatif Tambang Terhadap Lingkungan dan Kehidupan Sosial

Tak hanya merusak alam, keberadaan tambang nikel di Kabaena telah menyebabkan polusi udara dan pencemaran laut yang parah. Limbah tambang, baik yang berasal dari proses pengolahan nikel maupun batubara, mencemari pesisir pantai yang sebelumnya menjadi tempat utama bagi warga Suku Bajo untuk mencari ikan. Laut yang tercemar, dengan semburat kuning kemerahan akibat limbah nikel, membuat para nelayan kesulitan untuk mencari ikan, yang selama ini menjadi mata pencaharian utama mereka.

"Laut kami tercemar. Dulu, kami tak perlu berlayar jauh untuk menangkap ikan, tapi sekarang air laut sudah tercemar dan nelayan kesulitan," ungkap Mandiodo, seorang nelayan di Pulau Kabaena yang kini merasa kesulitan untuk mencari ikan. Selain itu, lahan pertanian yang sebelumnya subur juga kini tidak lagi produktif akibat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas tambang.

3. Kerusakan Hutan dan Kehilangan Mata Pencaharian

Sejak dimulainya tambang nikel, sekitar 3.374 hektar hutan di Pulau Kabaena telah hilang antara 2001 dan 2022. Hutan yang dibabat untuk membuka lahan tambang kini menyebabkan penurunan kualitas air sungai dan laut di sekitar kawasan tambang. Kehilangan lahan pertanian yang produktif membuat banyak warga terpaksa menjual tanah mereka kepada perusahaan tambang, yang semakin memperburuk kondisi sosial dan ekonomi mereka.

"Banyak warga yang tidak bisa lagi berkebun karena tanah mereka sudah rusak. Kami terpaksa menjual tanah dan tidak punya pilihan lain selain menjadi buruh tambang yang gajinya jauh lebih rendah dari yang diharapkan," ujar seorang warga Kabaena yang mengungkapkan kekecewaannya terhadap kebijakan yang mendukung pertambangan.

4. Ancaman Kesehatan Masyarakat Pulau Kabaena

Selain kerusakan lingkungan dan kehilangan mata pencaharian, tambang nikel juga membawa ancaman kesehatan yang serius bagi warga Pulau Kabaena. Polusi udara dan pencemaran air oleh logam berat seperti timbal, merkuri, dan kadmium menyebabkan meningkatnya kasus penyakit seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), gangguan kulit, serta keracunan logam berat yang mempengaruhi kesehatan warga, termasuk masyarakat Suku Bajo.

"Dulu, Kabaena adalah rumah kami yang indah. Sekarang, kami harus menghadapi polusi udara dan air yang membuat kesehatan kami terganggu," kata seorang warga yang menderita gatal-gatal dan penyakit kulit akibat polusi tambang nikel. Laporan dari World Health Organization menyebutkan bahwa pencemaran batubara menjadi komoditas berbahaya nomor satu di dunia, dan dampaknya sangat terasa di Pulau Kabaena, yang kini dipenuhi dengan polusi batubara baik di darat maupun di udara.

Pencemaran air yang mengandung logam berat menyebabkan kerusakan pada terumbu karang dan penurunan drastis populasi ikan, yang langsung berdampak pada kehidupan nelayan. Bahkan, beberapa anggota masyarakat yang mengkonsumsi kerang yang terkontaminasi limbah tambang, mengalami masalah kesehatan serius, termasuk kerusakan ginjal, hati, dan kanker.

Pemerintah dan Perusahaan Terus Mengabaikan Dampak Lingkungan

Meskipun masyarakat telah menolak kehadiran industri nikel di Pulau Kabaena sejak 2011, baik pemerintah maupun perusahaan tambang terus melanjutkan aktivitas mereka tanpa memperhatikan keluhan dan dampak yang dirasakan oleh warga setempat. Warga setempat merasa telah didiskriminasi dalam lapangan pekerjaan, di mana mereka hanya mendapat pekerjaan sebagai buruh dengan gaji rendah, sementara pendatang mendapatkan posisi yang lebih baik.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index