JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan pentingnya hilirisasi batubara sebagai langkah strategis dalam transisi energi Indonesia. Dalam sambutannya di acara Coaltrans Asia 2024 di Bali, Bahlil mengingatkan para produsen batubara untuk memanfaatkan komoditas unggulan ini secara lebih bijak, dengan meningkatkan nilai tambah melalui program hilirisasi. Langkah tersebut, menurutnya, akan membantu Indonesia mencapai target emisi nol bersih (net zero emission) pada tahun 2060.
Bahlil menyampaikan bahwa meskipun transisi energi sedang berjalan, pemerintah Indonesia tetap mendukung batubara sebagai salah satu komoditas utama negara. Namun, ia menekankan bahwa transisi energi ini harus dilakukan secara bertahap, dengan memperhatikan kesiapan modal dan teknologi yang dibutuhkan.
Komitmen Indonesia dalam Transisi Energi
"Saya ingin meyakinkan Anda semua bahwa pemerintah ke depan masih tetap mendorong batubara sebagai salah satu komoditas unggulan seiring dengan transisi energi yang terus berjalan. Jadi, kalian harus mendapatkan modal capital yang cukup dulu sebagai instrumen untuk melakukan proses peralihan ke teknologi hijau. Karena kalau kita langsung paksakan tanpa modal yang cukup, kita tidak akan mampu melakukannya," ujar Bahlil dalam acara yang digelar pada Senin, 9 September 2024 tersebut.
Pernyataan ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk mendukung transisi yang mulus, di mana Indonesia tidak hanya berfokus pada pengurangan emisi tetapi juga memastikan bahwa sektor energi tetap dapat memberikan kontribusi terhadap perekonomian. Bahlil juga menambahkan bahwa seperti negara-negara lain di dunia, Indonesia berusaha untuk menciptakan pertumbuhan tanpa mengabaikan kewajiban untuk mengurangi emisi karbon sesuai dengan konsensus global.
"Hampir semua negara di dunia terus berpikir kreatif untuk menciptakan pertumbuhan dengan tidak mengesampingkan konsensus-konsensus global terkait net zero emission (NZE) yang harus dilakukan pada 2050, dan Indonesia sendiri telah mencanangkan hal yang sama pada tahun 2060 secara bertahap," tegas Bahlil.
Mendorong Hilirisasi Batubara
Menteri ESDM juga menekankan kepada para produsen batubara untuk mulai meningkatkan nilai tambah dari komoditas tersebut, salah satunya melalui hilirisasi. Pemerintah memberikan ruang bagi pengusaha batubara untuk terus melakukan penambangan dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan, tata kelola yang baik, dan keterlibatan masyarakat yang berkelanjutan.
"Kita tetap memberikan ruang bagi pengusaha-pengusaha nasional, khususnya pengusaha batubara, untuk terus melakukan penambangan dengan memperhatikan norma standar lingkungan, tata kelola, dan keterlibatan masyarakat yang baik. Namun, diharapkan dalam kurun waktu tertentu, mereka segera melakukan peralihan karena negara tidak bisa melakukan hal ini terus menerus," ujar Bahlil.
Hilirisasi batubara, lanjut Bahlil, akan menciptakan produk bernilai tambah yang dapat digunakan di dalam negeri, sekaligus mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor bahan bakar. Salah satu contoh hilirisasi yang sedang digalakkan adalah pengembangan Dimethyl Ether (DME), yang dapat menjadi pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG).
Mengurangi Ketergantungan pada Impor LPG
Menurut Bahlil, salah satu alasan penting untuk mengembangkan DME dari batubara adalah untuk mengurangi impor LPG yang cukup besar. "Impor LPG per tahun itu mencapai 6 juta ton, salah satu bahan baku untuk mengganti LPG adalah batubara melalui DME, serta sebagai bahan baku pupuk," jelasnya. Inisiatif ini bertujuan untuk tidak hanya meningkatkan nilai tambah batubara, tetapi juga untuk mengurangi defisit perdagangan Indonesia yang berkaitan dengan energi.
Peluang Hilirisasi Batubara di Indonesia
Indonesia, yang merupakan salah satu produsen batubara terbesar di dunia, memiliki peran penting dalam pasar global. Pada tahun 2023, produksi batubara Indonesia mencapai 775,2 juta ton, dengan total ekspor sebesar 518,05 juta ton. Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan produksi batubara tahun 2024 mencapai 900 juta ton, dengan sebagian besar masih ditujukan untuk pasar ekspor.
Pemerintah Indonesia juga aktif menawarkan kerja sama kepada negara-negara seperti Tiongkok untuk mengembangkan hilirisasi batubara dalam bentuk produk-produk dengan nilai tambah, seperti peningkatan kualitas batubara (coal quality improvement), pembuatan briket batubara (coal briquetting), pembuatan kokas (cokes making), dan likuidifikasi batubara (coal liquefaction). Kerja sama ini diharapkan dapat membuka peluang pasar baru bagi produk-produk hilirisasi batubara Indonesia.
Kesimpulan: Transisi Energi yang Bertahap dan Berkelanjutan
Dengan adanya hilirisasi batubara, Indonesia diharapkan dapat menjaga kestabilan pasokan energi dalam negeri, sekaligus berperan aktif dalam transisi energi global. Meskipun tantangan besar tetap ada, terutama terkait dengan investasi modal dan teknologi, langkah bertahap yang diambil pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Bahlil Lahadalia menunjukkan keseriusan negara ini dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, sambil tetap memperhatikan komitmen global terkait pengurangan emisi karbon.
Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan Indonesia dapat menciptakan industri batubara yang lebih ramah lingkungan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan lapangan pekerjaan baru di sektor hilirisasi energi.