KORPORASI

Menguak Pertanggungjawaban Korporasi dalam Kasus Korupsi: Tantangan dan Solusi

Menguak Pertanggungjawaban Korporasi dalam Kasus Korupsi: Tantangan dan Solusi
Menguak Pertanggungjawaban Korporasi dalam Kasus Korupsi: Tantangan dan Solusi

JAKARTA - Fenomena korupsi saat ini menjadi salah satu kendala terbesar dalam tatanan hukum dan ekonomi global, mengakibatkan banyak sorotan publik serta akademis. Kasus-kasus yang menyeret korporasi dalam kegiatan korupsi kian marak, menandakan bahwa permasalahan hukum ini tidak hanya menyelimuti individu semata, tetapi juga melibatkan entitas bisnis raksasa.

Menurut laporan yang diterbitkan oleh Grasso (2020), kerangka hukum untuk pertanggungjawaban pidana korporasi telah mengalami perkembangan pesat. Perusahaan kini diakui sebagai entitas independen yang bisa dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran kriminal serius. Dalam konteks global, terutama di Indonesia, diskursus mengenai penerapan hukuman pada perusahaan dalam kasus korupsi masih diperdebatkan. Banyak pihak bertanya-tanya, apakah tindakan melawan hukum ini seharusnya hanya dijatuhi sanksi perdata atau lebih berat lagi, dikenakan hukuman pidana.

Mengacu pada studi Ivory & Soreide (2020), perjanjian internasional menggugat negara-negara agar secara aktif memberikan sanksi pidana kepada badan hukum yang terlibat dalam penyuapan lintas negara. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa beberapa negara lebih memilih untuk menyelesaikan kasus-kasus ini di luar pengadilan, menghasilkan sanksi yang lebih ringan bagi entitas korporasi.

Seperti diungkapkan Urazboev & Odilov (2022), celah dalam hukum memungkinkan perusahaan untuk luput dari tanggung jawab pidana, meski personel di dalamnya terbukti melakukan suap. Komplikasi ini membuktikan bahwa menjerat korporasi dalam hukum pidana butuh pendekatan yang lebih detil, khususnya ketika melibatkan jajaran eksekutif atau pihak manajerial puncak.

Pendekatan Rehabilitatif dalam Sistem Hukum

Sistem hukum, seperti yang diterapkan di Italia, lebih mengutamakan insentif kepatuhan dibandingkan denda finansial sebagai solusi utama (Blandini et al., 2023). Rehabilitasi melalui adopsi modul kepatuhan ketat menjadi pilihan logis dalam upaya mencegah pengulangan tindak pidana oleh korporasi yang sama di masa depan. Model ini diyakini mampu mencapai misi hukum pidana: mencegah dan mengurangi kejahatan tanpa menghukum secara berlebihan.

Implikasi Hukum Indonesia

Di Indonesia, sistem hukum sering lebih menekankan pada pertanggungjawaban individu dibandingkan entitas korporasi. Hukum korporasi negara ini belum sepenuhnya mengakui perusahaan seperti Commanditaire Vennootschap (CV) sebagai subjek hukum yang bisa dimintai tanggung jawab pidana secara langsung. Sebaliknya, hukum lebih menyoroti tindakan sekutu aktif yang bertanggung jawab penuh atas operasional perusahaan (Dewi, 2021).

Prinsip business judgment rule juga menguatkan pandangan bahwa individu manajemen harus bertanggung jawab atas kebijakan bisnis yang dijalankan (Ilham et., 2023). Oleh karena itu, bila terjadi pelanggaran hukum, sanksi akan lebih diarahkan ke jajaran eksekutif atau manajerial perusahaan, bukan ke CV sebagai entitas usaha sekadar (Zarzani et al., 2024).

Reformasi dan Respons Hukum

Seiring tuntutan reformasi hukum yang lebih progresif, kajian terbaru menyarankan pembentukan regulasi yang lebih sistematis dalam menangani kasus pertanggungjawaban pidana korporasi (Akbar, 2023). Mekanisme seperti Deferred Prosecution Agreements (DPA), solusi populer di negara maju, memungkinkan korporasi untuk menghindari tuntutan pidana dengan memenuhi ketentuan tertentu, menawarkan peningkatan kepatuhan, dan menyetujui denda yang telah disepakati bersama penegak hukum.

Kendati demikian, daya tarik DPA tidak lepas dari kritik. Sistem ini dipandang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum jika implementasinya tidak konsisten dan jelas (Parker & Dodge, 2022).

Kasus serupa di Afrika Selatan menunjukkan, meskipun hukum memfasilitasi tuntutan bagi korporasi dan pengurusnya, sering kali perkara-perkara seperti ini tidak masuk pengadilan karena pembuktian yang rumit (Kawadza, 2019).

Ke depan, desakan untuk reformasi hukum korporasi yang jelas dan adil mesti direspons dengan serius. Bersama dengan mekanisme yang lebih adaptif, regulasi baru diharapkan bisa menangkal taktik korporasi yang menghindari tanggung jawab pidana lewat celah-celah hukum. Klarifikasi batasan akhir pertanggungjawaban pidana korporasi lebih lanjut juga menjadi amat krusial untuk memastikan bahwa prinsip keadilan berjalan tanpa henti.

Dengan penegakan hukum yang lebih terfokus dan terarah, Indonesia akan lebih siap menghadapi kompleksitas kasus korporasi abad ke-21. Sistem ini akan melindungi kepentingan publik, sekaligus mengundang perusahaan untuk melakukan bisnis dengan cara yang lebih bertanggung jawab dan etis.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index