JAKARTA - Pejabat publik kerap menghadapi dilema berat dalam menjalankan kebijakan. Meski keputusan yang diambil berdasarkan niat baik dan pertimbangan matang, risiko diproses hukum tetap mengintai. Hal ini menjadi perhatian serius bagi mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, yang menyoroti perlunya perlindungan hukum bagi pejabat yang berinovasi demi kepentingan publik.
Dalam forum diskusi di Monash University, Australia, Anies mencontohkan pengalaman pribadi dan kasus Tom Lembong terkait penyelenggaraan Formula E. Ia menegaskan bahwa tantangan serupa dialami banyak pejabat publik lainnya.
“Persoalan ini bukan hanya soal individu, melainkan terkait perbaikan sistem hukum. Perlindungan bagi pejabat publik yang membuat kebijakan dengan niat baik dan pendekatan tepat sangat penting agar tata kelola pemerintahan bisa berjalan lebih baik,” jelas Anies.
Perspektif Akademisi: Tiga Pilar Hukum
Menanggapi pernyataan Anies, pengamat politik sekaligus Dekan Fisipol Universitas Widya Mataram Yogyakarta, Dr. As Martadani Noor, M.A., mengungkapkan bahwa fenomena ini mencerminkan ketidakseimbangan dalam dinamika hukum di Indonesia.
Menurut Martadani, hukum memiliki tiga faktor yang harus berjalan beriringan agar tercipta keadilan yang menyeluruh.
Nilai Sosial – aspek ini berkaitan dengan persepsi masyarakat terhadap keadilan. Hukum tidak hanya soal aturan tertulis, tetapi juga harus mencerminkan nilai-nilai yang diterima masyarakat. Misalnya, hukum adat dalam komunitas tertentu tetap berlaku karena dianggap adil meski berbeda dengan hukum nasional. “Hukum harus memberi rasa adil dan masuk akal (common sense),” ujarnya.
Perundang-undangan – regulasi harus ditegakkan secara konsisten. Namun, peraturan bisa menimbulkan ketidakadilan jika bertentangan dengan nilai sosial. “Sebagus apa pun KUHP, jika bertentangan dengan nilai masyarakat, maka muncul ketidakadilan,” jelas Martadani.
Kultural Kognitif – faktor ini merujuk pada cara pandang dan keyakinan masyarakat tentang keadilan. Contohnya, vonis terhadap Tom Lembong dianggap tidak adil oleh sebagian masyarakat. “Nilai masyarakat, regulasi, dan kultural kognitif harus saling melengkapi. Jika salah satunya pincang, maka hukum kehilangan keseimbangannya,” tambahnya.
Kegagalan Interaksi Hukum
Martadani menekankan bahwa kasus yang diangkat Anies menunjukkan kegagalan interaksi hukum di Indonesia. Regulasi memang ada, tetapi sering bertentangan dengan nilai sosial dan kultural kognitif. Hal ini menyebabkan persepsi ketidakadilan tetap muncul di masyarakat.
“Contohnya, masyarakat tidak bisa menerima vonis terhadap Tom Lembong. Untungnya Presiden merespons dengan abolisi. Kalau tidak, masyarakat akan terus menerus menganggap ada ketidakadilan,” ujar Martadani.
Ia menambahkan bahwa kondisi ini bukan fenomena baru. Ketidakseimbangan tiga aspek hukum – nilai sosial, peraturan, dan kultural kognitif – telah terjadi berulang kali dan menciptakan kekacauan hukum. Bila ketiganya tidak saling mengoreksi, risiko pejabat publik menghadapi tuntutan hukum meski bertindak dengan itikad baik akan terus berulang.
Implikasi bagi Tata Kelola Pemerintahan
Menurut Anies, perlindungan hukum bagi pejabat publik bukan semata untuk menghindari sanksi, tetapi untuk memastikan tata kelola pemerintahan berjalan lebih efektif. Ketika pejabat merasa aman untuk mengambil keputusan strategis, kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat dapat diimplementasikan tanpa takut risiko hukum yang berlebihan.
Kondisi ini juga menekankan perlunya reformasi hukum yang lebih responsif terhadap konteks sosial dan kultural. Martadani menegaskan, tiga pilar hukum harus bekerja secara sinergis agar tercipta keadilan yang dirasakan oleh masyarakat.
“Secara teoritis, ini menunjukkan ketidakseimbangan. Ada kekacauan hukum akibat kegagalan tiga aspek tersebut. Bila tidak saling mengoreksi, ketidakadilan seperti yang disampaikan Pak Anies akan terus terjadi,” pungkas Martadani.
Sorotan Anies Baswedan dan analisis akademisi menekankan pentingnya perbaikan sistem hukum di Indonesia. Risiko pejabat publik menghadapi tuntutan hukum meski bertindak dengan niat baik menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara regulasi, nilai sosial, dan persepsi kultural masyarakat.
Reformasi hukum yang mempertimbangkan ketiga aspek ini menjadi kunci untuk menciptakan pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan adil. Perlindungan terhadap pejabat publik yang inovatif akan mendorong pengambilan kebijakan yang berpihak pada kepentingan publik, sekaligus memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
Dengan demikian, dialog antara pejabat publik, akademisi, dan masyarakat menjadi penting untuk menyelaraskan regulasi dengan nilai sosial dan kultural, sehingga hukum tidak hanya berlaku secara formal, tetapi juga dirasakan adil oleh seluruh lapisan masyarakat.