JAKARTA - Festival Kuliner Makanan Jadul dan Takjil yang digelar di Bumi Perkemahan Cindhe Kembang telah menjadi magnet kuat bagi masyarakat lokal. Meskipun cuaca tidak bersahabat dengan hujan yang sering mengguyur, semangat pengunjung tak surut untuk mendatangi bazar makanan yang berlangsung penuh keceriaan dan nostalgia. Festival ini diselenggarakan oleh Satkordikcam Kembang yang dipimpin oleh Bapak Nasuka, dengan dukungan tim panitia kreatif yang terdiri dari para guru.
Kegiatan yang berlangsung dari tanggal 5 hingga 15 Maret 2025 ini bukan hanya sekedar festival biasa. Ada tujuan mulia di baliknya, yakni menyambut bulan Ramadan, melestarikan jajanan tradisional sebagai wujud kebudayaan bangsa, memberdayakan UMKM, serta menggalang dana untuk melengkapi fasilitas ibadah di Bumi Perkemahan Cindhe Kembang.
Bapak Nasuka, inisiator festival, menyampaikan, "Dengan festival ini, kami berharap masyarakat makin mencintai dan melestarikan jajanan tradisional. Ini adalah identitas bangsa yang harus kita pertahankan."
Festival ini menghadirkan beragam pilihan jajanan tradisional yang memanjakan lidah. Dari bubur cocol hingga endog gludug, dari conggro hingga kopi Sumanding, semua disajikan dengan kreasi unik dan cita rasa otentik, menarik minat ribuan pecinta kuliner untuk berburu makanan pembuka puasa. Aneka es pelangi dan pudding waluh juga menjadi primadona yang dicari banyak orang. Uniknya, pembelian menggunakan sistem koin dengan harga satu koin senilai Rp 5.000, membuat transaksi lebih praktis dan terkesan tradisional.
Salah satu pengunjung, Dewi, mengungkapkan antusiasmenya, “Saya sangat menikmati festival ini. Banyak jajanan masa kecil yang jarang saya temui sekarang, semuanya ada di sini. Koinnya membuat suasana semakin seru!”
Sebelum masuk ke area festival, pengunjung diwajibkan menukarkan uang mereka dengan koin sebagai alat transaksi di stand. Uniknya, festival ini terbuka untuk umum tanpa ada tiket masuk, membuat acara ini lebih inklusif dan diminati banyak kalangan.
Tidak hanya berfokus pada makanan, festival ini juga menjadi ajang edukasi budaya dan ekonomi bagi masyarakat, khususnya para guru yang bertindak sebagai panitia. Mereka tidak hanya bertugas di dalam kelas, tetapi juga turut mendidik melalui kegiatan di luar ruangan, seperti di area perkemahan ini.
Penjaga stand dari Dabin 3 Satkordikcam Kembang, Susi, menambahkan, “Kami merasa bangga bisa menjual makanan dari desa kami masing-masing. Ternyata banyak yang mengingatkan orang pada masa kecil mereka. Ini adalah bagian penting dari budaya kita.”
Kesuksesan festival ini menandakan pentingnya menjaga tradisi di tengah arus modernisasi yang semakin deras. Kreativitas para guru dan partisipan lainnya haruslah mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak. Sebab, usaha mereka tidak hanya menyuguhkan nikmatnya makanan, tetapi juga menanamkan pentingnya menjaga identitas bangsa melalui jajanan tradisional.
Festival ini membuktikan bahwa di tengah gempuran makanan cepat saji dan produk industri, jajanan tradisional tetap memiliki tempat khusus di hati masyarakat. Oleh karena itu, langkah terobosan seperti ini perlu terus dikembangkan dan diapresiasi.
Dengan semakin banyak pengunjung yang menunjukkan antusiasmenya, tidak menutup kemungkinan festival ini bisa menjadi agenda rutin tahunan yang ditunggu-tunggu masyarakat. Melalui pelestarian jajanan tradisional, identitas bangsa bisa tetap dipertahankan dan diwariskan kepada generasi mendatang.
Panitia festival berharap acara seperti ini terus berlanjut dan bisa diadaptasi di berbagai daerah lain, sehingga ragam kuliner tradisional Indonesia tidak hanya lestari, tetapi juga menjadi kebanggaan di negeri sendiri dan dunia. "Kami berharap ini menjadi inspirasi bagi daerah lain untuk melakukan hal serupa," tutup Nasuka dengan optimisme tinggi.