Hujan Asam: Ancaman Tersembunyi bagi Lingkungan dan Infrastruktur

Rabu, 19 Februari 2025 | 11:26:53 WIB
Hujan Asam: Ancaman Tersembunyi bagi Lingkungan dan Infrastruktur

JAKARTA - Fenomena hujan asam menjadi perhatian serius para peneliti mengingat dampaknya yang signifikan terhadap infrastruktur dan lingkungan. Trismidianto, seorang Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menegaskan pentingnya masyarakat memahami bahaya potensial yang sering kali diabaikan dari air hujan yang tercemar polusi. Menurutnya, hujan asam yang terbentuk dari kombinasi polutan seperti logam berat, sulfur dioksida, dan nitrogen oksida, menyimpan ancaman besar bagi ekosistem kita.

Dalam kunjungan ilmiahnya di Institut Teknologi Pagar Alam, Bandung, Trismidianto mengungkapkan bahwa salah satu contoh nyata dampak hujan asam dapat kita lihat pada Patung Pancoran di Jakarta. "Apa kalian tahu Patung Pancoran Jakarta? Patung tersebut sudah tercemar hujan asam akibat korosi yang disebabkan oleh berbagai faktor lingkungan, termasuk polusi udara," ungkapnya.

Bahaya yang Sering Disepelakan

Trismidianto menyoroti bahwa masyarakat kerap menganggap remeh air hujan, tanpa mempertimbangkan bahwa air tersebut bisa jadi mengandung polutan berbahaya. "Masyarakat seringkali menganggap air hujan tidak berbahaya. Padahal, jika air hujan telah tercemar polusi, ia bisa membawa polutan berbahaya seperti logam berat, sulfur dioksida, dan nitrogen oksida, yang membentuk hujan asam," papar Trismidianto.

Penelitian di bidang iklim dan atmosfer, lanjutnya, sangat penting untuk meningkatkan pemahaman serta kemampuan dalam memprediksi peringatan dini bencana, mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim. Pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan menjadi kunci dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).

Pembentukan Hujan Asam dan Peran Troposfer

Hujan asam, jelas Trismidianto, terbentuk di troposfer, lapisan atmosfer paling dekat dengan permukaan bumi. Troposfer yang membentang hingga 8-15 km di atas permukaan bumi ini adalah tempat terjadinya sebagian besar fenomena cuaca, termasuk hujan. "Troposfer adalah lapisan di mana sebagian besar fenomena cuaca terjadi, termasuk hujan asam," ujarnya.

Lebih jauh, Trismidianto menjelaskan peran lapisan ionosfer dalam penerbangan dan prediksi bencana. "Saat ini, kami tengah mengembangkan penelitian terkait total elektron di ionosfer untuk memprediksi terjadinya gempa bumi dengan memonitor perubahan total elektron di ionosfer," tambahnya.

Interaksi Atmosfer dan Lautan

Interaksi antara atmosfer dan lautan juga memegang peranan penting dalam pertanian dan pola cuaca global. Misalnya, fenomena El Niño yang timbul dari gangguan sirkulasi atmosfer dan laut di Samudra Pasifik dapat memicu perubahan pola cuaca ekstrem, yang pada akhirnya mempengaruhi hasil pertanian di Indonesia.

Aktivitas Manusia dan Perubahan Iklim

Trismidianto menekankan bahwa perubahan iklim erat terkait dengan aktivitas manusia. "Semua aktivitas kita berkontribusi terhadap perubahan iklim. Pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa menstabilkan perubahan iklim tersebut," jelasnya. Ia menambahkan perubahan iklim adalah akibat dari variabel-variabel iklim—terutama suhu udara dan curah hujan—yang berubah secara bertahap dalam jangka panjang, sekitar 50 hingga 100 tahun. Perubahan iklim ini berisiko menyebabkan banjir, kekeringan, dan pergeseran musim.

Bahaya Gas Rumah Kaca

Gas Rumah Kaca (GRK) menjadi ancaman lain yang dihasilkan dari aktivitas manusia. GRK memiliki kemampuan menyerap radiasi matahari di atmosfer sehingga suhu bumi meningkat. "GRK adalah penyebab pemanasan yang bisa kita rasakan bahkan dari hal kecil sehari-hari, seperti panas yang terperangkap saat kita masuk ke mobil yang terparkir di bawah matahari," kata Trismidianto.

Model dan Sistem Peringatan Dini

"Untuk mempelajari atmosfer, kita memerlukan model untuk memprediksi," ungkap Trismidianto. Model yang dimaksud dapat berupa fisik maupun matematik, seperti grafik atau perangkat lunak yang dibantu komputer.

Salah satu sistem peringatan penting yang dikembangkan oleh PRIA BRIN adalah SADEWA (Satellite Disaster Early Warning System). Sistem ini mampu memprediksi curah hujan hingga tiga hari ke depan dengan resolusi mencapai 5 km. "SADEWA bisa mengurangi risiko bencana hidrometeorologis dengan meningkatkan kesiapsiagaan," jelas Trismidianto, menekankan pentingnya sistem ini untuk penanggulangan bencana, pekerjaan umum, pertambangan, dan pengembangan smart city.

Dengan upaya berkelanjutan dalam penelitian dan pengembangan sistem peringatan, diharapkan dampak dari hujan asam maupun fenomena iklim ekstrem lainnya dapat diminimalisir. Masyarakat pun diimbau untuk lebih peduli terhadap efek jangka panjang aktivitas manusia terhadap lingkungan.

Terkini